Serangkaian peluncur roket Grad terlihat ditembakkan selama latihan tempur yang dilakukan tentara angkatan darat Armada Baltik di wilayah Kaliningrad, 2011. Fotot: Photoshot/Vostok Photo
Layaknya truk pengangkut pipa yang terisi penuh, sistem peluncur roket terbaru ini mampu membawa 40 tabung peluncur yang tertata rapi di belakang ruang kemudi. Namun, media lebih senang memperlihatkan Grad BM 21 sedang melancarkan aksi menembak dibanding bergerak, karena efek visual penembakan roket dari sistem ini memang mengagumkan. Dalam 20 detik, BM 21 dapat meluncurkan seluruh proyektilnya yang berjumlah 40 buah dan berbobot 66 kilogram ke angkasa. Roket 122 mm tersebut meluncur lebih cepat bahkan dibanding kedipan mata. Dengan jangkauan lima hingga 20 kilometer, BM 21 dapat menghujani area seluas 14 hektar dengan serbuan roket yang dapat menciptakan kehancuran, reruntuhan, dan kepanikan. Dampak ledakannya sama dengan selongsong sistem artileri 152 mm, namun menyebarkan lebih banyak pecahan.
Berkapasitas tiga awak prajurit, BM 21 awalnya diciptakan untuk menghancurkan konsentrasi pasukan dan peralatan musuh dalam pertempuran besar. Namun karena mobilitasnya yang sangat tinggi, Grad BM 21 memiliki jangkauan mematikan yang luas. Sistem ini juga dapat disiapkan dan ditarik dengan cepat, membuatnya cocok untuk beraksi dalam pertempuran gerilya.
Pada penggunaan militer biasa, BM 21 memiliki bidikan yang akurat dan dapat dioperasikan menggunakan sebuah teropong pengintai. Namun, karena telah beraksi dalam konflik lokal di seluruh dunia, senjata ini semakin banyak digunakan untuk meluncurkan berondongan roket cepat yang tidak pandang bulu ke arah musuh. Sayangnya, hal tersebut membuat senjata ini berisiko tinggi menimbulkan collateral damage, jatuhnya korban jiwa tak bersalah.
Seperti sistem peluncur roket gabungan Soviet dan Rusia lain, Uragan (Topan) dan Smerch (Tornado) misalnya, nama sistem Grad juga diambil dari sebuah fenomena cuaca yang dramatis. Grad dalam bahasa Rusia berarti ‘hujan es’
Sistem ini pertama kali digunakan pada 1963, secara efektif menggantikan BM 13 Katyusha yang legendaris, yang menjadi momok bagi pasukan Jerman dalam Perang Dunia II. Pada awal 1960-an, militer Soviet memutuskan bahwa jarak jangkau Katyusha yang hanya mencapai sepuluh kilometer dan memiliki 16 tabung peluncur tak lagi memadai.
Pertempuran Stalingrad. Peluncur roket Katyusha. Foto: Photoshot/Vostok Photo
Para desainer Tula yang merancang sistem baru ini memutuskan untuk tidak menggunakan roket turbo jet, yang memiliki perecik jet lateral untuk memutar proyektil saat di udara guna meningkatkan akurasi. Mereka lebih memilih menggunakan folding stabilizer. Selain itu, dengan memilih rel peluncur tipe tabung, para perancang menggabungkan elemen-elemen terbaik dari sistem lain yang sudah digunakan, yang awalnya terlihat tidak kompatibel satu sama lain.
Setelah selesai dirancang, BM 21 diserahkan pada beberapa batalyon infanteri bermotor dan divisi tank Rusia. Tak lama berselang, tentara dari negara lain pun bersemangat untuk juga menggunakannya. Sejak 1964, telah ada lebih dari 11 ribu sistem berbasis kendaraan yang merupakan modifikasi sistem ini.
Sistem Grad hasil modifikasi kemudian diserahkan pada berbagai unit tempur, dari angkatan laut hingga pasukan gerilya. Pada pertengahan 1960-an, sistem roket Grad P yang ringan bahkan dikembangkan atas permintaan Vietnam. Senjata ini berupa sebuah sistem angkut ransel yang mudah dibawa prajurit dan dapat digunakan di medan pegunungan yang tidak dapat diakses oleh artileri yang harus dibawa menggunakan kendaraan.
Setelah tersedia bagi pihak luar, BM 21 diekspor ke banyak negara dan berperan penting dalam menentukan sejarah mereka. Pada 1975, tentara Angola dan Kuba mengerahkan sistem Grad di Kongo untuk menghentikan serangan unit Angkatan Darat Zaire dan Afrika Selatan di ibukota Angola, Luanda. Serangan tersebut mengantarkan negara ini memproklamasikan kemerdekaannya dari Portugal pada 11 November 1975, seperti yang direncanakan.
Tentara Aliansi Utara atau Front Islam Bersatu untuk Pembebasan Afganistan memuat peluncur roket Grad di dekat Dashti Kola, Afghanistan utara dekat garis depan, 12 Oktober 2001. Foto: Reuters
BM 21 juga sering digunakan di Afghanistan untuk membombardir posisi mujahidin di tempat-tempat tinggi. Grad pun turut beraksi dalam Operation Highway pada 1987, membantu penyingkiran sejumlah besar musuh dan membuka jalan ke provinsi Khost bagian tenggara yang telah terputus dari Afganistan.
Kini, BM 21 digunakan di lebih dari 50 negara di seluruh dunia. Di Rusia, secara perlahan senjata ini digantikan oleh sistem Grad 1, Uragan, dan Smerch. Namun meski memiliki daya tembak yang lebih baik, pengalaman tempur dan kemasyuran sistem-sistem baru tersebut jauh di belakang saudara tua mereka.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda