Jika situasi berjalan sesuai prediksi, Tiongkok mungkin akan segera mencoba mengambil peran sebagai penyedia keamanan.
ReutersPada 16 Agustus lalu, Tiongkok dan Suriah telah ‘mencapai konsensus’ mengenai bantuan kemanusiaan militer Tiongkok untuk Suriah. Demikian informasi tersebut disampaikan Direktur Kantor Kerja Sama Militer Internasional Komisi Militer Terpusat Tiongkok Guan Youfei.
Namun, fokus perhatian beralih pada pernyataan Youfei yang menyebutkan Beijing ingin membangun iktan militer yang lebih erat dengan Damaskus.
Hal ini mengembalikan spekulasi bahwa puluhan instruktur militer Tiongkok dikirim ke Suriah pada 2015 lalu. Tuduhan yang dibuat oleh sejumlah media tersebut tak pernah terbukti.
Namun, perkembangan terbaru mendukung kesimpulan Reuters yang menyebutkan bahwa belakangan Tiongkok mencoba untuk lebih banyak terlibat, termasuk mengirim perwakilan untuk mendorong resolusi diplomatik atas kekerasan di sana dan menampung tokoh pemerintah dan oposisi Suriah.
Adakah yang bisa mendeteksi rasionalisasi tegas dalam ‘alasan tak diketahui’ akan keterlibatan pejabat tinggi Tiongkok dalam perang di Timur Tengah?
Kemunduran militer baru-baru ini dan pemulihan formasi militer ISIS di Suriah memunculkan prospek kekalahan Bashar al-Assad atas sejumlah lawannya. Beijing tentu telah mencium jendela yang akan segera terbuka untuk kesempatan bisnis.
Sebelumnya, penguasa pemberani dari Damaskus secara terang-terangan mendorong Iran, Tiongkok, dan Rusia untuk melanjutkan dukungan mereka terhadap rezimnya dengan menjanjikan perlakukan khusus ketika ‘rekonstruksi’ negeri yang dilanda perang tersebut akan menjadi agenda domestik utama.
Beijing tentu telah menempatkan saham pada jaring konstruksi yang menguntungkan di Suriah dan menyediakan material pembangunan serta layanan jaminan, yang memastikan pembangunan hubungan bilateral yang kuat.
Gleb Ivashentsov, mantan dubes Rusia untuk Korea Selatan yang kini menjadi anggota Dewan Hubungan Internasional Rusia, berbagi pandangannya akan hal ini, tapi menyebutkan bahwa pertimbangan geopolitik juga ikut bermain.
“Bagi Beijing, kerja sama yang makin erat dengan Damaskus tentu akan menjamin posisi mereka kelak dalam periode pascaperang di Suriah,” kata Ivashentsov. “Kerja sama perdagangan dan ekonomi ada di pikiran Beijing. Namun, ini juga sinyal bagi AS bahwa Tiongkok kini semakin asertif dalam mengejar tujuan kebijakan luar negerinya. Akan tetapi, saya tak bisa mengabaikan bahwa ini adalah respons asimetris atas penempatan sistem antimisil AS di Korea Selatan.”
Sepertinya Tiongkok tak akan kehilangan ‘deviden perdamaian’ ketika Suriah sudah stabil kelak dan para pemberontak mau takluk pada rezim Assad dengan menyetujui kesepakatan yang tahan lama dan diterima bersama.
Namun, sikap Tiongkok yang lebih asertif dalam hubungan internasional dan kesiapan mereka untuk memasuki titik panas tak bisa dikaitkan hanya dengan kebutuhan menyentuh pasar asing, menghujani mereka dengan barang, dan/atau mengekstraksi serta mengimpor sumber daya mineral mereka.
Ini lebih dari itu. Ini adalah mengenai diplomasi baru kekuatan super Xi Jinping “dengan dialek Tiongkok,” kata Alexander Lomanov, seorang profesor di Institut Studi Timur Jauh Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia.
“Ini adalah revisi dari simbol warisan Deng Xiaoping dalam instruksinya yang terjaga: jangan ambil tampuk kepemimpinan, jangan bongkar potensi sesungguhnya, jangan terlalu menarik-narik kemampuan Anda,” kata Lomanov. “Itu dinyatakan pada 1992, dan dipetik dari pelajaran jatuhnya Soviet. Namun seperempat abad telah berlalu sejak itu. Tiongkok telah berubah dan memupuskan batasan yang ia bangun sendiri.”
Ia menambahkan bahwa Tiongkok mencoba melibatkan diri di panggung global. “Jika Anda membaca blog-blog berbahasa Mandarin, Anda akan menemukan kejutan atas berita kemungkinan peningkatan kerja sama militer dengan Suriah. ‘Ikut bermain dalam sepak bola geopolitik di babak kedua adalah tradisi standar kami,’ tulis salah seorang blogger. Kini ‘kita harus tumbuh dewasa, sudah waktunya kita memasuki permainan dari awal’,” kutip Lomanov.
Namun, perlu dicatat: tulisan tersebut menunjukkan bahwa Tiongkok mungkin akan mengabaikan sikapnya yang terlalu berhati-hati dalam menerapkan kebijakan luar negeri.
Jika situasi berjalan sesuai prediksi, Tiongkok mungkin akan segera mencoba mengambil peran sebagai penyedia keamanan. Timur Tengah mungkin akan menjadi medan uji coba.
Apakah Beijing cukup dewasa menanggung beban ini? Mungkin, ya. Dalam berbagai kasus, Tiongkok tak lagi merasa inferior. Mereka mengaku ‘sudah tumbuh besar’.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda