Bendera Korea Utara berkibar di antara menara-menara Kremlin, yang merupakan bekas kediaman para mantan tsar Rusia dan sekarang hanya digunakan untuk keperluan tamu yang paling dihormati. Pemimpin Korea Utara Kim Jong-il dan Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani sebuah deklarasi di Moskow pada Sabtu, menyatakan program rudal Pyongyang tidak dirancang untuk mengancam negara mana pun.
ReutersDi tengah latihan militer terbesar yang pernah dilakukan AS dan Korea Selatan, Korea Utara menembakkan dua rudal balistik jarak pendek miliknya ke Laut Timur (atau Laut Jepang) pada Kamis (10/3). Sehari setelah aksi yang dilakukan Korea Utara tersebut, menlu Tiongkok dan menlu Rusia bertemu di Moskow untuk meningkatkan tekanan terhadap Pyongyang.
Kepada RBTH, para pakar Studi Korea di Rusia mendeskripsikan bagaimana perkembangan hubungan antara Moskow dan Pyongyang saat ini, dan apa yang ada di balik jaminan persahabatan yang mutual.
Beberapa hari sebelum Korea Utara meluncurkan roket yang membawa satelit artifisial, pada 7 Februari lalu, Kementerian Luar Negeri Rusia mengungkapkan ‘kekhawatiran’ akan rencana Pyongyang untuk melakukan tes semacam itu.
Dibandingkan dengan pernyataan Jepang, yang mengancam untuk menembak jatuh pengangkut roket tersebut, atau Korea Selatan yang menteri pertahanannya memerintahkan tentara untuk merespon peluncuran tersebut ‘secara aktif’, reaksi Rusia seolah tertahan.
Segera setelah peluncuran tersebut dilakukan, Moskow mengutuk keras langkah tersebut dan menyarankan Pyongyang untuk merenungkan apakah kebijakannya untuk menentang komunitas internasional merupakan hal yang mereka diinginkan.
Namun, para pakar tak melihat akan ada konsekuensi yang lebih serius.
“Saya rasa Rusia tak akan setuju untuk memperkeras sanksi, memberikan tekanan kuat, dan isolasi terhadap Korea Utara terkait peluncuran tersebut,” kata Georgy Toloraya, Direktur Riset Pusat Studi Korea Modern di RAN.
Seperti yang diyakini para pakar Studi Korea yang diwawancara RBTH, Moskow tak punya alat serius untuk menekan Korea Utara untuk memastikan rezim Kim Jong-un berhenti mengoperasikan program misil dan nuklirnya.
“Rusia tak sendirian dalam hal ini,” kata Andrei Lankov, seorang profesor di Universitas Kookmin Seoul. “Peristiwa selama beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa hampir mustahil memengaruhi Pyongyang secara serius. Mungkin hanya Tiongkok, secara teori, yang punya kesempatan semacam itu.”
Menurut Lankov, negara lain hanya bisa melakukan ‘tawar-menawar’ dengan Korea Utara lewat konsesi ekonomi atau politik sebagai ‘bonus’ bagi sikap Pyongyang. Di saat yang sama, kata Lankov, tak ada jaminan bahwa Korea Utara tertarik untuk menerima ‘bonus’ tersebut.
Georgy Toloraya yakin bahwa pemerintah Korea Utara menganggap Moskow sebagai alternatif mitra utama Pyongyang: Beijing.
“Kim Jong-un tak mau bergantung pada Tiongkok, sehingga diperlukan alternatif. Di situlah kartu Rusia dimainkan,” tuturnya.
Saat ini, Tiongkok masih menjadi mitra perdagangan kunci Korea Utara (menguasai sepertiga perdagangan asing negara tersebut) serta sumber utama bantuan kemanusiaan dan investasi. Namun, hubungan antara kedua negara Asia Timur tersebut jauh dari yang diinginkan.
Pakar menyebutkan bahwa retorika agresif Pyongyang dan uji nuklir yang mereka lakukan juga membuat Beijing jengkel, tapi Korea Utara tak akan mengacuhkan kebijakannya.
“Ada keinginan (dari pihak Tiongkok) untuk memperpendek rantai dan membuat Korea Utara lebih patuh,” kata Konstantin Asmolov. “Oleh karena itu, Pyongyang mencoba untuk tak bergantung pada Tiongkok secara penuh dan memperkuat hubungannya dengan Rusia.”
Sejak kunjungan pertama Presiden Rusia Vladimir Putin ke Korea Utara pada tahun 2000, kontak politik antara kedua negara semakin intensif dan beberapa kesepakatan kerja sama telah ditandatangani.
Secara berkala, Rusia memberi bantuan kemanusiaan bagi Korea Utara, dan bukannya mengutuk program nuklir serta misilnya, malah menentang pemberian sanksi internasional yang lebih keras.
“Korea Utara bersikap lebih baik terhadap Rusia daripada Tiongkok, mereka tidak takut dan siap untuk berkoordinasi,” kata Georgy Toloraya. “Peran utama dalam hal ini dimainkan oleh bantuan dana (pada Mei 2014, Moskow menghapuskan 90 persen utang eksternal Korea Utara terhadap Rusia).”
Di saat yang sama, hubungan bilateral tersebut kekurangan dasar ekonomi.
“Pada praktiknya, kerja sama perdagangan dan ekonomi antara Korea Utara dan Rusia belum hadir secara efektif,” kata Andrei Lankov. Ia menghubungkan hal ini dengan bentuk ekonomi kedua negara.
“Rusia tak butuh apa yang dijual Korea Utara di pasar dunia (kecuali, mungkin, buruh murah),” kata Lankov. "Sementara Korea Utara tak keberatan membeli produk Rusia. Namun warga Korea Utara tak punya uang untuk membayar barang tersebut dengan harga yang memadai.”
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda