Ilustrasi oleh Grigory Avoyan.
Perestroika merupakan respons terhadap tantangan sejarah yang dihadapi Rusia pada dekade terakhir abad ke-20. Pada 1980-an, Uni Soviet mengalami periode perkembangan yang sangat sulit.
Sistem komando administratif yang terpusat menghalangi orang-orang untuk mengambil inisiatif, membuat perekonomian negara terkungkung, bahkan negara menghukum orang-orang yang mendemonstrasikan inisiatif.
Akibatnya, pada awal tahun '80-an, kita tertinggal 2,5 kali dalam hal produktivitas dibanding negara-negara industri paling maju, dan empat kali lipat dibanding negara-negara agrikultur. Sistem perekonomian dimiliterisasi, dan negara sangat kesulitan terus menyokong kompetisi senjata.
Kami melakukan perubahan bukan untuk dihormati atau disegani, melainkan karena kami paham bahwa masyarakat pantas mendapatkan hidup yang lebih baik, serta kebebasan yang lebih luas.
Ketika itu, kita melihat Perestroika sebagai bagian dari proses dunia, yang terjadi pada anggota komunitas global yang saling berkaitan dan bergantung satu sama lain.
Glasnost menjadi instrumen fundamental Perestroika. Apa itu Glasnost? Kebebasan berbicara. Orang-orang akhirnya memiliki kesempatan membicarakan masalah mereka, menyuarakan opini mereka tanpa takut akan sensor dan represi. Di sisi lain, Glasnost juga memaksa pemerintah melakukan transparansi, karena masyarakat ingin para pemimpin menjelaskan keputusannya serta mempertimbangkan opini dari masyarakat.
Glasnost mengguncang masyarakat, sekaligus membuka mata pemimpin negara. Kami melihat bahwa orang-orang ingin bergerak maju dengan lebih cepat. Pada 1988, dalam sebuah konferensi, kami memutuskan untuk mengadakan pemilu bagi orang-orang yang menempati struktrur tertinggi di pemerintahan. Ini merupakan langkah yang sangat penting menuju demokrasi.
Awalnya, semua orang terlihat mendukung penuh langkah tersebut. Namun, kami kemudian sadar bahwa tak semua orang senang, termasuk para pemimpin dan kalangan elit, atas keputusan yang sangat menentukan dan revolusioner tersebut.
Di sisi lain, para radikal bersatu dengan para separatis yang melihat ketidaksabaran masyarakat — terutama kaum intelektual — dan mereka memaksa “semua hal harus dihancurkan seluruhnya”, sambil mencekoki masyarakat dengan janji-janji manis yang tak bertanggung jawab dan tak realistis, bahwa dalam satu atau dua tahun akan tercipta surga di negara kita.
Sementara para konsevatif, yang terlalu mencintai masa lalu, takut akan perubahan yang nyata, tak percaya pada kebebasan memilih, serta tak mau kehilangan hak istimewa mereka. Mereka yang telah kalah dalam pertempuran politik terbuka kemudian melakukan kudeta pada 1991 untuk melemahkan posisi saya sebagai presiden dan membuka jalan bagi para kelompok radikal untuk menghancurkan Uni Soviet dalam kurun waktu beberapa bulan.
Saya berjuang keras untuk mempertahankan kesatuan pemerintah dengan makna politis. Saya garis bawahi, politis. Saya tak bisa menerima penggunaan kekerasan, yang dapat mengantarkan kita pada jurang perang sipil.
Presiden Rusia Boris Yeltsin, yang memainkan peran positif dalam mengalahkan kudeta, diasumsikan memiliki posisi yang ambigu. Dalam konferensi rahasia yang dilakukan di Hutan Bialowieza, pemimpin Rusia, Ukraina, dan Belarus memutuskan untuk membubarkan Uni Soviet.
Saya siap menyetujui desentralisasi ekonomi hingga semaksimal mungkin serta memberikan kewenangan yang lebih luas bagi para republik. Namun, keputusan yang benar-benar berbeda telah diambil, ketika parlemen Rusia tengah bertepuk-tangan mendengar keputusan saya. Hasilnya, semua ikatan, bahkan aset kami yang paling penting, yakni pertahanan tunggal dari negara serikat, hancur begitu saja.
Lantas, apakah pecahnya Uni Soviet membuktikan bahwa Perestroika telah gagal, seperti yang dikatakan banyak orang, karena ketidakpedulian dan dendam? Tidak. Pembubaran Uni Soviet, masa-masa sulit, serta privatisasi yang banyak terjadi pada tahun 90-an hanyalah hasil dari kegagalan Perestroika. Namun ini tidak mengubah hal yang paling penting: transformasi yang telah diperkenalkan oleh Perestroika sangat mendalam sehingga kita tak bisa berputar balik.
Pertama adalah kebebasan politik, hak asasi manusia — hak-hak dan kebebasan yang hari ini dapat diterima begitu saja, kesempatan untuk memilih dalam pemilu, memilih pemimpin Anda secara langsung. Kesempatan untuk menyuarakan opini Anda secara terbuka. Kesempatan untuk mempraktikkan agama. Kesempatan untuk bebas pergi ke negara lain. Kesempatan untuk membuka bisnis dan menjadikan diri Anda sebagai seorang pengusaha sukses.
Kami mengakhiri perlombaan senjata. Kami memulai proses tersebut dengan mengurangi senjata nuklir. Kami menormalisasi hubungan dengan Barat dan Tiongkok. Kami meninggalkan Afghanistan. Kami mengatur banyak konflik regional. Proses integrasi negara pada ekonomi dunia pun dimulai.
Itu semua merupakan pencapaian nyata. Namun, banyak orang yang bertanya hari ini: mengapa dunia masih sangat gelisah? Mungkinkah kita menyalahkan Perestroika untuk semua perubahan itu, sama seperti kita menyalahkan pemikiran baru yang kita tawarkan pada dunia?
Tidak, saya tidak setuju dengan pemikiran tersebut. Ancaman yang kita hadapi sekarang ini merupakan akibat dari gagalnya Perestroika, bubarnya Uni Soviet, jarak yang tercipta dengan prinsip pemikiran-pemikiran baru, serta ketidakmampuan para pemimpin generasi baru untuk menciptakan sistem keamanan dan kerja sama yang dapat merespon realitas global, bahwa dunia ini saling bergantung satu sama lain.
Kesempatan yang disediakan setelah berakhirnya Perang Dingin diabaikan begitu saja, tak diimplementasikan sebagaimana seharusnya.
Banyak pihak di Barat yang sangat senang atas bubarnya Uni Soviet karena faktor internal. Akhir dari Perang Dingin, yang membuat kedua pihak dan seluruh dunia gembira, diintepretasikan sebagai kemenangan Barat dan AS. Perayaan kemenangan berujung pada klaim sebagai “satu-satunya kepemimpinan adidaya yang tersisa di dunia” dan bahkan terciptanya “Kekaisaran Amerika”.
Pada akhirnya, dunia tidak menjadi lebih aman. Bukannya dunia menjadi lebih tertata, kita malah menghadapi ‘kekacauan global’. Konflik berkecamuk tak hanya di negara-negara dunia ketiga, tapi juga di Eropa. Kini konflik bersenjata benar-benar ada di depan kita.
Saya tak akan membicarakan detil konflik Ukraina. Penyebab utama hal tersebut terletak pada kegagalan Perestroika, pada keputusan yang tidak bertanggung jawab yang dibuat di Hutan Bialowieza oleh pemimpin Rusia, Ukraina, dan Belarus. Dengan menarik Ukraina ke Komunitas Eropa-Atlantik, Barat telah jelas-jelas menantang dan mengabaikan kepentingan Rusia, dan mengakibatkan terjadinya perpecahan di Ukraina.
Pengalaman atas Perestroika serta kebijakan luar negeri yang didasarkan pada pemikiran baru menyediakan ‘resep’ instan untuk mengatasi masalah hari ini. Dunia telah berubah. Kini ada ‘karakter’ baru, ancaman baru dalam politik dunia. Namun, tak ada masalah global yang dapat diatasi oleh satu negara atau sekelompok negara sendirian. Tidak ada masalah seperti itu yang dapat diselesaikan dengan jalan militer.
Rusia bisa memberi kontribusi substansial untuk mengatasi ‘kekacauan global’ saat ini. Barat harus menyadari hal tersebut.
Politik Rusia masih menghadapi banyak tantangan, tantangan yang sudah tercatat dalam agenda pada tahun-tahun Perestroika, di antaranya menciptakan sistem politik yang plural dan kompetitif, sistem multipartai yang nyata, pembentukan sistem checks and balances yang dapat menyeimbangkan kewenangan cabang-cabang pemerintah serta menjamin perubahan teratur dalam pemerintah.
Kita akan menemukan jalan keluar dari kebuntuan yang dibuat sendiri oleh politisi Rusia dan dunia, hanya melalui demokrasi. Dengan kata lain, kita membutuhkan demokratisasi kehidupan politik Rusia dan demokratisasi hubungan internasional. Tak ada jalan lain.
Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia di Rossiyskaya Gazeta.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda