AS, di Antara Naga dan Beruang

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov (kiri) dan Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok Wang Yi bertemu pada 15 April 2014 lalu. Foto: Reuters

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov (kiri) dan Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok Wang Yi bertemu pada 15 April 2014 lalu. Foto: Reuters

Tiongkok dan Rusia memiliki banyak alasan objektif untuk memperkuat hubungan kerja sama mereka, salah satunya karena kedua negara tersebut sama-sama ‘dijegal’ oleh Amerika Serikat. AS berusaha menghambat perkembangan Rusia di wilayah Eurasia dan kemajuan Tiongkok di kawasan Asia Pasifik.

Bukan hanya keseimbangan kekuatan dunia yang bergantung pada hubungan segitiga adidaya Moskow-Peking-Washington, tetapi juga kecepatan pembangunan dan pertumbuhan global secara keseluruhan. Konfrontasi dengan Amerika Serikat mendukung Rusia untuk mengalihkan perhatian ke Timur. Fokus Rusia yang berubah haluan ini tentu membawa dampak positif bagi perkembangan di wilayah Timur.

Dinamika Hubungan Segitiga Adidaya

Pada era 1990-an setelah Uni Soviet bubar, Amerika Serikat sempat menjadi negara adidaya yang dominan untuk beberapa waktu. Ketika itu Rusia menolak strategi geopolitik independen dan Tiongkok lebih memilih memperkuat pengaruhnya dengan mandiri secara bertahap.

Saat itu, hubungan AS dengan Tiongkok dan Rusia masih lebih baik bila dibandingkan hubungan Moskow dengan Peking. Hal tersebut bukan karena Rusia dan Tiongkok berseberangan, tapi lantaran sebagian besar kaum elit politik Rusia masih pro-Barat. Pergerakan impulsif Boris Yeltsin mendekati Tiongkok tak dapat meyakinkan Tiongkok akan niat Rusia yang serius. Tiongkok melihat langkah tersebut sebagai kebijakan geopolitik non-independen pemerintah Rusia dan tindakan pro-Barat yang terang-terangan.

Namun, dalam 15 tahun terakhir, hubungan Rusia dan Tiongkok benar-benar mengalami kemajuan pesat. Rusia dan Tiongkok telah membangun fondasi yang kuat untuk hubungan kemitraan strategis. Kedua negara sudah menyelesaikan sengketa batas wilayah, melakukan kerja sama perdagangan senjata, dan masih bernegosiasi mengenai proyek jangka panjang di bidang energi.

Meski konsep kawasan Asia Tengah bersatu belum sepenuhnya disepakati kedua negara, Rusia dan Tiongkok memiliki kesamaan tekad, yakni mengubah tatanan dunia dengan menghapus dominasi Amerika Serikat untuk mendikte seluruh dunia.

AS Kewalahan

Kepentingan geopolitik AS pada dasarnya bertentangan dengan Rusia dan Tiongkok. Amerika Serikat ingin mempertahankan dominasinya dengan menghambat kemajuan Rusia dan Tiongkok, tetapi AS sudah tak lagi memiliki kekuatan untuk itu.

AS sedang fokus ‘menjegal’ Rusia saat ini. Tak heran, AS berupaya menghindari konfrontasi tajam dengan Tiongkok dan bersikap lebih lunak pada Peking. Namun, Tiongkok gerah akan keberadaan militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Masalahnya, Washington tidak berencana mengalah, malah sebaliknya berusaha memperkuat lawan-lawan Tiongkok dengan menyulut gerakan garis pertahanan anti-Tiongkok.

Tindakan Amerika Serikat yang berusaha membatasi gerak Tiongkok di region Asia Pasifik dan Rusia di Eurasia merupakan hal yang sia-sia dan berpotensi mempercepat kejatuhan kebijakan geopolitiknya sendiri. Hal itu telah disampaikan oleh beberapa pengamat AS yang meminta Washington untuk memilih satu saja ‘musuh utama’.

Peking sadar akan taktik Amerika Serikat, yakni menyelesaikan urusan dengan Rusia, lau selanjutnya akan menyerang Tiongkok. Tentu saja Tiongkok tidak akan terjebak dengan permainan itu, malah sebaliknya negara tersebut meningkatkan perannya di wilayah Asia Pasifik. AS kewalahan karena tak bisa mengontrol situasi di tiga front secara bersamaan: Timur Tengah, Eropa, dan Asia Pasifik.

Pertahanan Gerakan Anti-Tiongkok

Krisis di Timur Tengah tiga tahun terakhir dan konflik Ukraina yang telah berlangsung setengah tahun membuat orang luput memperhatikan situasi yang meruncing di kawasan Asia Pasifik. Perdebatan teritorial pulau-pulau dan zona perairan laut merupakan wujud ketegangan yang terjadi pada kawasan tersebut.

Tiongkok melihat kebijakan politik AS merupakan ancaman. Kunjungan Barack Obama ke negara-negara Asia Pasifik yang dimulai sejak Rabu (14/5) kemarin, semakin meyakinkan Peking akan hal itu. Peking menilai kunjungan Obama sebagai usaha penguatan aliansi anti-Tiongkok di Asia Pasifik.

Tiongkok belum siap melakukan konfrontasi militer dengan AS, tetapi negara tersebut secara konsisten meningkatkan tekanan pada negara-negara tetangga, memaksa mereka untuk mengalah dalam perdebatan territorial dan melemahkan ikatan mereka dengan Amerika Serikat. AS berusaha memberi dukungan kepada sekutu mereka di Asia Pasifik sambil menjaga perdamaian dengan Tiongkok. Tapi jelas, permainan seperti ini tidak akan berlangsung selamanya.

Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia di Vzglyad.

Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki