Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno, fasilitas olahraga terbesar dan tertua di Indonesia.
Tepat tiga tahun setelah kegagalan revolusi 1905 di Rusia, Indonesia mengalami Tahun Kebangkitan Nasional. Momentum ini menjadi percikan paling awal bagi pergerakan rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Presiden pertama negara ini, Soekarno, melihat banyak persamaan antara kemerdekaan Indonesia dari kekuasaan kolonial dengan perjuangan petani serta penggulingan Dinasti Romanov di Rusia dan perkembangan selanjutnya di Uni Soviet. Hal ini terejawantahkan dengan dibangunnya beberapa monumen bergaya realisme Soviet di berbagai tempat di Jakarta.
Patung Pemuda Membangun di ibu kota Indonesia adalah salah satu contoh terbaik realisme Soviet. Patung besar tersebut didirikan sebagai simbol keberanian pemuda dalam pembangunan negara. Hal ini sangat mirip dengan peran Ikatan Pemuda Komunis, atau biasa dikenal sebagai Komsomol, yang turut menjadi pilar berdirinya Uni Soviet.
Patung dengan sosok seorang petani telanjang berbadan kekar yang membawa piring berisi api abadi ini mencerminkan semangat abadi pemuda. Patung Pemuda yang begitu megah dan berdiri pada podium setinggi dua meter ini tampaknya mendapatkan lebih banyak perhatian warga Jakarta daripada yang diharapkan Presiden Soekarno karena letaknya yang berada di tengah hiruk pikuk lalu lintas ibu kota. Kemacetan lalu lintas kota Jakarta yang "memaksa" para pengguna jalan untuk memperhatikannya patung ini.
Seperti halnya monumen-monumen era Soviet yang kini keran dijadikan bahan lelucon di Rusia, simbol semangat abadi pemuda ini seringkali disebut “Patung Pizza Man” meski tanpa maksud melecehkan. Hal ini setidaknya menegaskan bahwa globalisasi dan perusahaan multinasional telah menjejakkan kakinya dengan kuat di negara ini.
Patung pahlawan atau disebut juga Tugu Tani dibuat oleh dua orang pematung asal Rusia, Matvey Manizer dan Ossip Manizer, sebagai hadiah dari pemerintah Uni Soviet atas persahabatannya dengan Indonesia. Foto: Wikipedia
Tugu Tani atau Patung Pahlawan, yang berwujud pejuang kemerdekaan Indonesia yang siap melawan penjajah Belanda untuk membebaskan negaranya, bersama ibunya yang mendukung, adalah bukti hubungan kuat Jakarta dengan Moskow saat itu. Monumen yang dekat dengan Stasiun Kereta Gambir ini mungkin adalah karya pematung masyhur Rusia Matvey Manizer di Asia yang paling terkenal.
Patung tersebut dibangun setelah Soekarno meminta Manizer dan anaknya Otto agar membangun sebuah monumen untuk memperingati perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada awal 1960-an, keluarga Manizer mengunjungi Pulau Jawa. Selama kunjungan tersebut, mereka mendengar kisah seorang ibu yang mendukung anaknya untuk berjuang demi negara, tetapi berpesan agar sang anak terus ingat kepada orangtuanya.
Patung perunggu ini bergaya komunis (lengkap dengan petani yang memegang senapan) dan dikirimkan sebagai hadiah bagi Indonesia. Kita bisa melihat jejak-jejak Rusia di taman bunga yang mengelilingi patung ini, bahkan di tengah hawa panas tropis Jakarta, seseorang bisa merasa seperti berada di dekat sebuah lapangan kecil di Rusia. Sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Indonesia di podium monumen ini berbunyi: “Hanya bangsa yang dapat menghargai pahlawan-pahlawannya yang dapat menjadi bangsa besar.”
Soekarno juga mengagumi Uni Soviet karena berhasil unggul dalam bidang perlombaan angkasa luar dan ia ingin agar Indonesia memiliki industri aeronautika yang maju. Patung perunggu Pancoran setinggi 11 meter di kawasan selatan Jakarta berbentuk seorang pria yang menunjuk ke arah utara tempat bandar udara pertama kota ini berada. Patung ini ingin menggambarkan kejayaan negara dalam bidang penerbangan.
Tengara atau landmark Jakarta yang paling terkenal, Monumen Nasional (Monas) dengan tinggi 132 meter, yang disebut sebagai “pembangunan terakhir Soekarno”, memiliki serangkaian relief di sekeliling dasar menaranya. Relief-relief yang terbuat dari cetakan semen ini menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dirancang untuk menginspirasi warga, sama seperti karya seni publik di Uni Soviet yang mengilustrasikan sejarah dan menjelaskan sebuah narasi politik.
Monas dan area monumen tersebut berdiri, Lapangan Merdeka, pada dasarnya memiliki nilai yang sama bagi Indonesia sebagaimana halnya Kremlin dan Lapangan Merah bagi Rusia. Sama halnya seperti Lapangan Merah yang berada tak jauh dari Kremlin, Monas dan Lapangan Merdeka pun terletak tak jauh dari Istana Negara. Lapangan Merdeka adalah tempat yang bagus untuk melihat kemajemukan Indonesia sembari mendengarkan dialek dan bahasa yang lebih jarang digunakan karena area ini adalah magnet bagi para pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia, sama seperti Lapangan Merah yang biasanya lebih banyak dikunjungi turis dan pendatang daripada penduduk Moskow sendiri.
Bukti hubungan Rusia dan Soviet dengan Jakarta ternyata tak hanya tecermin pada berbagai patung dan monumen besar di kota itu. Sebagian dana pembangunan Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno, yang merupakan fasilitas olahraga terbesar dan tertua di Indonesia, berasal dari Uni Soviet.
Pembangunan Stadion Gelora Bung Karno pada April 1962. Foto: Wikipedia
Kompleks ini dibangun untuk Asian Games 1962 dan stadion utamanya, yang awalnya memiliki kapasitas lebih dari 100 ribu penonton, menyerupai Stadion Luzhniki di Moskow.
Pada 1956, Soekarno berpidato di Stadion Luzhniki, Moskow, dan ia diyakini begitu terkesan dengan stadion tersebut sehingga memutuskan bahwa ibu kota Indonesia memerlukan kompleks olahraga sejenis.
Uni Soviet memberikan pinjaman khusus sebesar 12,5 juta dolar AS. Arsitek dan insinyur Soviet pun dikerahkan untuk pembangunan kompleks ini, yang masih merupakan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara.
Rusia dan Indonesia telah beranjak dari zaman sosialisme, tetapi jejak-jejak masa lalu terus menjadi bagian penting dari lanskap ibu kota kedua negara.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda