Pak Den Dya, warga kota Yuzhno-Sakhalinsk, yang berketurunan Korea di depan rumahnya, Pulau Sakhalin, Rusia, 23 Oktober, 2007.
AP Photo/Burt HermanKetika kapal terakhir yang mengangkut orang-orang Jepang meninggalkan Sakhalin selatan pada akhir 1940-an, muncul masalah baru akibat situasi geopolitik di awal abad ke-20. Sejumlah orang, yang bukan bagian dari Jepang maupun Uni Soviet, terdampar di bagian selatan pulau (yang dikuasai Jepang dari 1905 hingga 1945).
Jepang membawa sejumlah etnis Korea sebagai budak ke Sakhalin selatan (atau Karafuto, sebutan Jepang untuk bagian pulau yang mereka kuasai). Setelah menyerah, Jepang menolak mengakui orang Korea sebagai warga mereka, dan gejolak yang terjadi di Semenanjung Korea membuat mereka akhirnya terlantar di Pulau Sakhalin.
Namun kini, di tahun 2015, pulau yang kaya akan minyak dan gas tersebut sangat bangga akan kehadiran etnis minoritas tersebut. Sebagian besar penduduk beretnis Korea telah beralih kewarganegaraan menjadi warga Rusia dan berintegrasi sepenuhnya dengan kehidupan budaya dan sosial di pulau tersebut. Di Sakhalin, Anda bisa melihat penduduk etnis Korea menjadi pegawai kantor pos, pengusaha, birokrat, bahkan petugas imigrasi.
Makanan Korea juga mewarnai ragam kuliner di pulau tersebut, yang terkenal akan kelezatan makanan lautnya. Sebagian besar toko-toko makanan menjual salad pedas khas Korea bersama hidangan-hidangan favorit warga Rusia, dan bukan etnis Korea saja yang gemar menyantap Kimchi dan salad dingin khas Korea.
Pusat administrasi Pulau Sakhalin, Yuzhno-Sakhalinsk, memiliki sejumlah restoran Korea, meski para pecinta makanan Korea dari Seoul menganggap rasa makanan di sana sangat jauh dari otentik.
Bahasa ibu anak-anak muda etnis Korea di Sakhalin adalah bahasa Rusia dan mereka hanya bisa sedikit bahasa Korea. Kebanyakan dari mereka lebih memilih mempelajari bahasa Inggris daripada bahasa Korea. Sekolah-sekolah di Yuzhno-Sakhalinsk menyediakan pelajaran bahasa Korea, namun karena jarang dipraktikkan, anak-anak itu biasanya melupakan bahasa Korea setelah lulus.
“Satu-satunya ‘hal Korea’ yang mereka miliki adalah darah mereka,” kata Tommy Roo, lulusan Sakhalin State University, yang kembali ke kampung halamannya di Busan setelah menghabiskan waktu lima tahun di Yuzhno-Sakhalinsk. “Banyak dari mereka bahkan tak terbiasa makan hidangan Korea. Mental mereka pun benar-benar seperti orang Rusia,” kata Roo, yang mengklarifikasi bahwa ia tak memiliki pandangan negatif mengenai hal ini.
Oleg Kim, pria berusia 45 tahun yang kini tinggal di Sankt Peterburg menuturkan, teman-teman sebayanya biasa menganggap Kim sebagai ‘orang yang sama-sama tumbuh di masa Uni Soviet’, daripada sebagai orang Korea. Kim, sama seperti banyak etnis Korea di Sakhalin, pernah bergabung dengan militer dan melakukan tugas-tugas ringan, dan itu tentu lebih dari sekadar nilai simbolis.
Etnis Korea lain seperti Oksana Lee (28) tumbuh dengan krisis identitas. Ia bahkan pernah mencoba tinggal di Seoul dan Moskow untuk ‘menemukan dirinya’. Lee akhirnya memutuskan kembali ke Sakhalin karena merasa pulau multietnis tersebut paling nyaman untuk ditempati. “Saya terlalu Rusia di Korea dan terlalu Korea di Moskow,” kata Lee.
Lee bercerita, ia pernah mengalami kekerasan verbal di Moskow saat terjadi kekacauan di tahun 2002, ketika tim sepak bola Rusia kalah dari Jepang pada pertandingan Piala Dunia. “Sejak itu saya berhenti menganggap diri saya orang Rusia dan mulai merasa bahwa saya adalah warga Sakhalin,“ kata Lee.
Secara umum, etnis Korea dianggap sebagai pekerja keras dan mereka mendominasi bisnis dan perdagangan di bagian selatan Pulau Sakhalin. “Itu karena mereka membentuk diaspora dan saling mendukung satu sama lain secara finansial,” terang Sergey Danilov ketika ditanya mengapa kebanyakan usaha di pulau tersebut dijalankan oleh etnis Korea, termasuk hotel bintang lima terbaik di Sakhalin. Pengusaha di Yuzhno-Sakhalinsk tersebut menambahkan bahwa banyak etnis Korea di Sakhalin yang mendapat bantuan keuangan dari ‘saudara’ mereka di Korea Selatan, yang juga gencar melakukan kegiatan misionaris di pulau tersebut.
Oleg Kim tak setuju dengan pandangan Danilov. “Pulau itu sekarang memiliki sejumlah besar komunitas Azeri dan Tajik. Mengapa mereka tak terlalu sukses?” Kim bercerita bahwa kecemburuan sosial dari beberapa etnis Rusia terhadap etnis Korea adalah “hal yang biasa”, dan ia menambahkan masyarakat di pulau tersebut memiliki level toleransi yang tinggi.
“Ketika dibutuhkan, warga Sakhalin bersatu,” kata Kim. Ia menguraikan insiden pada musim semi 2002, ketika beberapa kedutaan di Moskow (termasuk kedutaan Swedia, India, dan Jepang) menerima ancaman dari orang yang mengaku bernama ‘Ivan’ dan menyatakan diri sebagai perwakilan kelompok neo-Nazi. Surel tersebut ternyata palsu, tapi telah menyebarkan ketakutan di seluruh negeri. Ada rumor di Sakhalin bahwa sekelompok orang berambut skinhead berencana menyebrang dari Rusia menggunakan feri dan menyerang etnis Korea di pulau tersebut. “Para kriminal lokal mencegat sekelompok orang berambut skinhead di Pelabuhan Kholmsk, Sakhalin, melawan mereka dan menyuruh mereka kembali ke Rusia,” kata Kim.
Penulis telah mendengar cerita ini beberapa kali, tapi pihak kepolisian setempat tak mau mengonfirmasi bahwa peristiwa tersebut memang pernah terjadi. Mungkin itu adalah cerita yang terlalu sering diulang oleh warga Sakhalin, sehingga menjadi semacam legenda di pulau tersebut.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda