Mantan pemimpin Soviet Joseph Stalin kembali ramai diperbincangkan sebagai tokoh yang berhasil mengantarkan rakyat Soviet pada kemenangan Uni Soviet atas Nazi Jerman 70 silam. Foto: Kirill Kalinikov/RIA Novosti
Dalam pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia yang membahas mengenai pertumbuhan radikalisme di kalangan masyarakat Rusia, Nikolay Svanidze mengungkapkan kekhawatirannya terkait tendensi untuk memulihkan citra Joseph Stalin menjelang Parade Hari Kemenangan 2015 pada 9 Mei lalu dan menilai hal tersebut akan memicu ‘perpecahan opini publik’.
Kenangan Bersejarah
Mantan pemimpin Soviet Joseph Stalin kembali ramai diperbincangkan sebagai tokoh yang berhasil mengantarkan rakyat Soviet pada kemenangan Uni Soviet atas Nazi Jerman 70 silam. Minggu lalu, menjelang perayaan 70 tahun peringatan Perang Patriotik Raya, Partai Komunis Rusia bahkan berinisiatif mendirikan beberapa monumen Stalin di Rusia, memasang plakat serta mengubah nama jalan-jalan di kota Rusia untuk menghormati Stalin. Salah satu usulan yang diajukan adalah untuk mengubah kembali nama Volgograd menjadi Stalingrad.
Anggota Majelis Rendah Parlemen Rusia (Duma) dari Partai Komunis Rusia Vadim Solovyev berusaha meyakinkan bahwa langkah-langkah tersebut dibutuhkan untuk terus mengenang sejarah.
“Stalin memang sosok pemimpin yang kontroversial, namun itu adalah sejarah, dan kita tak boleh melupakannya. Masyarakat akhirnya terbebas dari kebohongan dan fitnah yang mengelilingi sosok Stalin dan kini mau memberi penghormatan untuk beliau,” kata Solovyev.
Pemerintah menyebutkan bahwa keputusan semacam itu adalah wewenang pemerintah daerah. Saat ini ada rencana pendirian monumen penghormatan untuk Stalin di wilayah Orel (326 kilometer di sebelah selatan Moskow). Kepala wilayah merupakan seorang Komunis, sehingga pemerintah setempat tidak menentang proyek tersebut.
Sebaliknya, di Moskow tengah berlangsung persiapan pendirian monumen penghormatan bagi para korban represi politik. Perwakilan dari masyarakat internasional Memorial, yang tergabung dalam rehabilitasi dan restorasi keadilan sejarah terhadap mereka yang mengalami tekanan dan represi, Ian Rachinsky sepakat dengan Nikolay Svanidze dan yakin bahwa rehabilitasi citra Stalin akan menciptakan perpecahan di kalangan masyarakat dan memberi kesan bahwa pemerintah Rusia kembali melangkah mundur ke masa komunis.
“Monumen semacam itu akan memicu kemarahan publik, saya ragu ada pemerintah daerah yang tak berpikiran panjang saat hendak memulihkan citra Stalin di wilayahnya, kecuali mungkin beberapa wilayah Kaukasia. Di sana memang kini sudah ada beberapa monumen penghormatan untuk Stalin,” kata Rachinsky pada RBTH. Ia yakin bahwa langkah politis semacam itu akan memperkuat posisi Partai Komunis.
“Komunis telah menguasai negara selama 70 tahun, saya benar-benar ragu sekarang mereka bisa lebih efektif, atau setidaknya membawa pengaruh positif bagi negara. Perubahan semacam itu tentu akan memperkuat posisi para pengagum masa lalu. Konsekuensinya, semua ini akan mengarah pada kerusakan dan degradasi masyarakat,” kata Rachinsky. Sang pakar menyebutkan bahwa pemulihan citra bekas pemimpin Soviet dapat memengaruhi pandangan internasional terhadap Rusia. “Bagaimanapun, itu akan memperkuat opini bahwa Rusia modern tak berbeda dengan Uni Soviet pada masa Stalin. Itu hanya akan memperburuk citra negara kita, dalam hubungan yang sudah rumit dengan Barat,” kata Rachinsky menyimpulkan.
Contoh Sederhana
Sementara itu, ahli psikologi politik di MSU Elena Shestopal yakin bahwa masyarakat Rusia tak akan menghadapi kontradiksi serius terkait hal ini, karena mayoritas warga Rusia pernah dan masih mendukung Stalinisme. “Inisiatif tersebut sepertinya tak mungkin menciptakan perpecahan masyarakat. Stalin masih menjadi simbol kemenangan dalam Perang Patriotik Raya dan tentu akan terus dikenang secara positif,” kata Shestopal pada RBTH. “Sejumlah kecil warga Rusia melihat Stalin sebagai tirani dan akan memprotes upaya pendirian monumen dan rehabilitasi,” kata Shestopal. Sang analis politik percaya pemerintah tak boleh selalu mengikuti kemauan mayoritas. “Menuruti opini mayoritas bukanlah tindakan yang paling efektif. Secara umum, pemerintah harus punya prinsip tersendiri,” kata Shestopal menyimpulkan.
Wakil Direktur Levada Center Alexey Grazhdankin menyatakan pada Kommersant bahwa perpecahanan antara ‘elit kultural’ memang sudah terjadi, namun mayoritas warga Rusia ingin melihat pemimpin yang kuat sebagai pemimpin negara dan Stalin terlihat sebagai contoh yang layak bagi mereka. “Kebanyakan masyarakat cenderung acuh tak acuh pada Stalin. Tapi kita tak bisa berharap orang-orang akan turun ke jalan untuk melakukan protes,” kata Grazdankin.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda